Minggu, 22 Juni 2008

K to K = NAHYU RF & FIRMAN

Sekelompok Perupa Muda Mencoba Bersuara di Tengah Iklim Kreatif yang Melempem.

Oleh: Chabib


Sedikit yang menyangka jika K to K menjadi seperti ini. Medio November lalu Muhammad Salafi Ridho Handoyo dan Irfan Fatchurahman mewakili K to K diundang memamerkan karya mereka dan didaulat menjadi salah satu pembicara di Festival Tanda Kota di Jakarta. Sebuah festival seni rupa yang memberi ruang para pesertanya untuk menangkap tanda-tanda yang mencirikan sebuah kota saat ini. Panitia memilih Dark Brown Sofa project mereka yang ke 3. “Setelah kita sodorkan beberapa project panitia mungkin berpikir Dark Brown Sofa yang paling pas menyuarakan tema”, kata Fatchu. Dark Brown Sofa yang dikonsep Fatchu di project K to K yang ketiga adalah penafsiran mereka akan kenyamanan. Mereka bawa sebuah sofa ke beberapa spot di Semarang seperti kawasan Kota Lama, TPA Jatibarang dan SMA 1 Semarang untuk berakting dan berpose dalam format video art dan foto. “Terserah mereka mau bergaya apa asal mewakili penafsiran mereka akan sebuah kenyamanan dengan sebuah sofa,” lanjut Fatchu. Nampaknya yang menonjol adalah karya Nahyu Rahma F. Seorang pria duduk sambil membaca koran dengan tenangnya di sebuah sofa di tengah arus padat lalu lintas di Jalan Soeprapto kawasan Kota Lama.

Belum banyak yang mengenal K to K bahkan publik Semarang. Coba ketik “Semarang” pada search engine Yahoo atau Google. Percaya atau tidak dari banyak keluaran di tampilan pertama diantaranya ada dua karya video milik awak K to K; M Rofikin alias Item dan Singgih Unggul Prasetyo. Dua karya itu terhubung lewat situs RuangRupa sebuah komunitas seni rupa di Jakarta. Juli 2007 RuangRupa mengadakan workshop video art di Semarang dan diikuti beberapa anggota K to K. Dari banyak karya yang masuk karya Item dan Singgih yang paling menonjol. Item mengambil gambar pantulan gedung-gedung tua Semarang di genangan air. Ia bermaksud menggambarkan keadaan Semarang yang tiap tahun selalu digenangi banjir. Karyanya ia namai “Rob”. Berjuluk “Tamasya Reklame” Singgih berkeliling Simpang Lima mengambil gambar reklame-reklame yang penuh bertebaran di sana. Tak disangka dua karya mereka diikutkan oleh Ruangrupa ke sebuah festival film pendek di Jerman. “Aku malah ndak tahu nama dan kotanya, tahu-tahu sudah dikasih tahu sama orang Ruangrupa,” kata Item.

Akhir Desember lalu K to K diundang di pameran dua tahunan Biennale di Jogja. Mereka memutuskan memamerkan memori retrospektif atas project K to K dalam satu tahun terakhir. Mereka wujudkan dalam sebuah neon box, membentuk setengah rumah; logo mereka. Dibalut kertas MMT yang memuat foto-foto. Juga mereka sertakan sebuah TV yang menyiarkan rekaman aktifitas mereka.

K to K sejatinya adalah nama project pameran bukan komunitas. Tubagus Svarajati pemilik Rumah Seni Yaitu yang prihatin dengan scene seni rupa di Semarang ditemani Muhammad Nasai Saputra dan Ridho mencari beberapa mahasiswa jurusan Seni Rupa Unnes untuk mengompori mahasiswa di sana untuk membikin pameran mereka sendiri dengan frekuensi yang sering. Atas rekomendasi Nasai ditemukanlah sebuah kos-kosan yang berpenghuni mahasiswa Jurusan Seni Rupa seluruhnya diantaranya Item dan Singgih. Keduanya mengajak teman-teman satu angkatan mereka untuk bergabung.

Setelah melakukan beberapa kali diskusi dihelatlah sebuah pameran di kos yang sama dinamai K to K Project #1 pada Desember 2006. K to K singkatan dari Kos to Kos. Untuk selanjutnya pameran memang terus diadakan di kos-kosan yang memungkinkan berbiaya murah dan tidak ribet seperti pameran biasa.

Pameran perdana mereka bertema Heroisme yang bergeser pemaknaannya sehingga dinamai Hero Is Me. Pahlawan tak mesti membela kebenaran. “Pahlawan ada dalam kita sendiri juga,” tutur Item. “Pameran pertama memang serba terbatas dari tempat hingga estetika. Kita ambil semangatnya aja,” kata Ridho.

Pameran kedua K to K Project #2 menunjukkan perbaikan. “Ratri dan kawan-kawan banyak belajar dari project K to K pertama. Mereka ingin project kedua lebih baik daripada project pertama. Dan banyak undangan yang datang,” tutur Ridho. Komedi Putar menyoroti bagaimana naik turunnya kehidupan manusia. “Komedi putar mengangkat kesenangan dalam hidup, hidup itu rileks tapi tetap fokus. Konsep putar kan kadang manusia ada di atas ada di bawah kemudian digabung dengan unsur komedi,” cerita Ratri sang Project officer di project kedua itu.

Carut-marutnya pendidikan di Indonesia juga mendapat perhatian dari mereka. “Sakit di Komik Aja” akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka pada project keempat. Dengan mengeksplor media komik. Komik tidak hanya hanya dibuat di atas kertas. Gitar, permukaan gelas dan piring menjadi korban tangan “jahil” mereka.

Project terakhir adalah project retrospektif. Item dan kawan-kawan ingin sesuatu sebagai kenang-kenangan, disamping kurangnya waktu persiapan sehingga konsentrasi terpecah. K to K harus memenuhi undangan pameran panitia Biennale Jogja akhir Desember. Para awak juga harus mempersiapkan pameran untuk pemenuhan tugas kuliah. Dalam project kelima itu dipajang berbagai memorabilia aktivitas mereka dimulai dari project pertama. Sayang pameran ini sepi pengunjung. “Kita ndak tahu kenapa kok sepi, mungkin pembukaannnya pas weekend,” Fatchu beralasan.

Mendobrak Kemapanan

Semarang sebagai kota besar kurang menunjukkan eksistensi dalam iklim kreatif. “Kalaupun ada keinginan berekspresi kreatif anak-anak muda Semarang banyak yang mentok karena kurang fasilitas untuk mendukungnya,” seloroh Ridho dalam sebuah obrolan. Ia mencontohkan kurangnya perpustakaan untuk menambah referensi. Fasilitas internet juga kurang maksimal. Kondisi ini juga berimbas pada scene-scene kreatif yang masih melulu konvensional. “Masih banyak perupa yang mendewakan lukisan di atas kanvas, padahal dunia sudah berubah. Seni rupa tidak selalu lukisan sekarang. Ada instalasi, foto dan video art,” jelas Ridho yang cuti kuliah di Jurusan Seni Rupa dan Desain Unnes sejak semester 2 ini.

Ini yang membuat K to K mendapat banyak mendapatkan komentar-komentar sinis dari beberapa kalangan perupa bahkan di almameter mereka. Masih banyak yang menganggap mereka nyeleneh. “Sebelumnya kan banyak yang nganggap kalau karya seni rupa itu mesti lukisan. Di Unnes kecenderungannya gitu. Padahal kan tidak. Karya apa pun bisa dibilang seni rupa tergantung niatnya. Bisa instalasi, patung, video, dan lain-lain. Dulu kami juga begitu. Tahunya seni rupa ya lukisan. Tapi setelah K to K ini ya kita jadi banyak tahu. Kita juga ada misi mencerahkan anak-anak seni rupa Unnes yang lain lah. Dosen-dosen juga begitu. Banyak yang ngajarnya ya menurut mereka di zaman dulu. Ndak tahu perkembangan seni rupa sekarang,” tambah Ratri dan Item yang karya instalasi mereka lolos seleksi pameran Biennale.

Mengorganisasi Aktivitas tak Bertuan

Iklim kreatif membutuhkan banyak peran pendukung. Begitu pula dalam dunia seni rupa. Perupa-perupa tidak bisa hanya bisa dengan mengandalkan diri mereka sendiri. “Ada dewan kesenian yang sebagai fasilitator dan pelaku riset, ada media untuk membuka arus apresiasi,” Ridho menjelaskan, “tapi melihat kondisi sekarang kita terpaksa harus melakukan semuanya sendiri.” Mereka membutuhkan komunitas memerlukan wadah untuk kerapian organisasi dan proyek jangka panjang. K to K yang hanya sebagai project yang sebelumnya tak “bertuan” harus memiliki pelaksananya. Byar Creative Industry dan CatDog CommunitArt begitu mereka menamai komunitasnya. “Sebenarnya orang-orangnya sama saja. Cuma kita kan butuh sesuatu untuk memanage aktivitas kita,” tutur Ratri dan Item. “Mereka kan belum tahu masalah tetekbengek dunia luar, belum banyak punya link untuk berpromosi,” tambah Ridho.

“Byar terbentuknya di K to K project ke 2 pada 24 Desember 2006. Di K to K 1 kita kurang terorganisir kemudian kita pengin lebih rapi dalam manjalankan proyek. Byar berkepentingan untuk mendukung dalam hal dokumentasi, tukar-tukar info dengan kelompok lain,” jelas Ridho. CatDog yang berkedudukan di Sekaran punya gawe untuk memperkenalkan iklim kreatif di Unnes dengan membuka galeri pamer dan komunitas diskusi seni. “Ke depan kita fokus untuk menggabungkan Byar dan CatDog untuk menjadikan organisasi yang lebih rapi, Ridho bercerita, “ada cerita lucu pas kita diundang ke Festival Tanda Kota. Kita penginnya pakai nama K to K. Tapi mereka (panita-red) ndak mau, kita harus punya organisasi. Kan acaranya difokuskan untuk mengenalkan beberapa komunitas yang ada di daerah. Jadi kita mengajukan Byar.” Baru-baru ini K to K mendapatkan hibah dana dari Hivos Foundation senilai 5000 Euro. Sebuah foundation asal Belanda yang berkonsentrasi mendukung perkembangan seni dan sastra. “Dana itu digunakan untuk keperluan penerbitan katalog untuk karya-karya kami, pengadaan residensi untuk homestay, dan pameran keluar kota,” sambung Fatchu.

Well, terlepas dari semuanya eksistensi K to K layak didukung. Semangat berekpresi yang mereka lakukan paling tidak memberikan shock therapy pada iklim kreatif yang melempem di Semarang.

Tidak ada komentar: